Biar bagaimanapun ibadah harus terus berjalan. Prinsip itu lazim terjadi, terutama di sejumlah gereja Protestan, saat berhadapan dengan mentoknya perizinan pendirian rumah ibadat. Tak jarang pula jemaat gereja seperti itu memang bermula dari ibadah rumahan kecil, namun kebutuhan untuk punya gedung ibadat sendiri akhirnya mencuat seiring pertumbuhan jemaat.

Di kalangan Protestan, kebutuhan untuk gedung gereja memang bukan melulu terkait keperluan ibadah rutin, tapi juga terkait permasalahan organisasional dan doktrinal. Semua urusan keagamaan mulai dari kelahiran, baptisan anak, pendidikan keagamaan non formal (sekolah minggu dan katekisasi), pendewasan (sidi atau baptisan dewasa), pernikahan hingga kematian memang selalu melibatkan denominasi atau organisasi gereja.

Seringkali semua hal tadi memang harus dilakukan dalam lingkup gereja. Karenanya gedung gereja bukan lagi sekedar kebutuhan ibadat personal, namun juga persoalan komunal, ajaran dan organisasi. Hal yang mungkin kurang begitu dirasa keperluannya, jika dibandingkan dengan kebutuhan umat Islam atau Buddha misalnya.

Dilema antara kebutuhan ibadat yang demikian dan keharusan melengkapi persyaratan hukum seringkali harus dipilih. Cukup banyak gereja yang berprinsip, yang pertamalah yang harus didahulukan. Sehingga dengan sengaja memakai gedung yang peruntukannya untuk rumah tinggal, perdagangan atau gedung pertemuan sebagai tempat beribadat. Tak jarang seperit yang dialami jemaat GMI Kanaan Jambi, hal itu bisa berlangsung selama puluhan tahun. Bahkan terjadi pada gedung yang sudah dipakai sebagai rumah ibadat sebelum PBM 2 Menteri 2006 ada.

Rumah Ibadat Sebelum PBM 2 Menteri 2006
Aturan yang agak jarang disosialisasikan terkait pendirian rumah ibadat adalah pasal 28 PBM 2 Menteri 2006. Dalam aturan itu disebutkan secara khusus untuk rumah ibadat yang telah berdiri, digunakan secara permanen sebelum PBM 2 Menteri 2006 ditetapkan, namun belum memiliki IMB rumah ibadat, boleh langsung mengajukan perizinan ke walikota/bupati.

Aturan ini mengecualikan persyaratan khusus 90/60 serta sejumlah rekomendasi lembaga yang diatur di pasal 14. Sehingga seharusnya keputusan yang paling dominan ada di tangan kepala daerah.

Sayangnya, di lapangan permasalahan membuktikan bahwa gedung itu sudah secara permanen dipakai sebagai rumah ibadat, seringkali pelik. Umumnya gedung tidak punya bukti tertulis yang menegaskan bahwa peruntukannya ada untuk fungsi keagamaan.

Demikian pula sejumlah arsip atau dokumen pemerintah yang mengakui bahwa bangungan difungsikan sebagai tempat ibadat juga tidak dimiliki jemaat padahal sekedar surat keterangan soal tanah, denah, atau keputusan pemerintah tingkat desa/lurah cukup dijadikan bukti. Kepengurusan rumah ibadat yang berganti tanpa serah-terima arsip yang mumpuni, seringkali menjadi persoalan.

Disini kelitan birokrasi akhirnya sering terjadi. Pergantian perubahan peruntukan yang sebenarnya permasalahan administratif, seringkali ditunda. Tak jarang rumah ibadat yang sudah lama berdiri itu harus mengulang lagi semua persyaratan dari awal.

Tempat Ibadah Sementara
Ada alternatif lain yang juga memungkinkan untuk ditempuh. PBM 2 Menteri 2006 memberi ruang untuk pemberian izin sementara (berlaku selama dua tahun) untuk memakai bangunan gedung bukan rumah ibadat sebagai rumah ibadat.

Dalam pasal 18-20 aturan ini, umat dapat mengajukan permohonan untuk memakai bangunan gedung bukan rumah ibadat sebagai rumah ibadat. Persyaratan pengajuannya tidak harus memenuhi keberadaan 90 pengguna atau persetujuan 60 orang warga. Hanya didasarkan pada izin tertulis pemilik bangunan, rekomendasi tertulis dari kepala desa/lurah, pelaporan tertulis ke FKUB kabupaten/kota dan kepala kantor kementerian agama kabupaten/kota.

Izin untuk kasus seperti ini dikeluarkan oleh bupati/walikota setelah mempertimbangkan rekomendasi dari FKUB dan kepala kantor kementerian agama. Pemberian izin dengan persyaratan tadi pun dapat didelegasikan ke tingkat kecamatan.

Meski terbilang lebih memudahkan, kesulitan tetap ada karena melibatkan sejumlah lembaga seperti FKUB dan kantor kementerian agama. Dalam komposisi FKUB yang sesuai dengan proporsi jumlah umat beragama di satu tempat, pengabaian kelompok minoritas tetap memungkinkan terjadi.

Selain itu, bangunan gedung bukan rumah ibadat tadi disayaratkan harus laik pakai dan punya peruntukan yang sesuai (mencakup fungsi keagamaan) serta memperhatikan ketertiban umum. Aturan yang juga sangat mungkin untuk dijadikan halangan untuk perizinan sementara ini…

Dengan tidak menafikan keengganan sejumlah umat untuk terlibat dalam proses pemenuhan aturan. Kita tetap melihat kenyataan di lapangan, bahwa proses untuk mendapatkan perizinan pendirian rumah ibadat memang punya kepelikannya tersendiri. **arms

Author

  • SELISIP berarti sisipan. Media ini meyakini kehadirannya mampu menyelisip di tengah derasnya arus informasi di masyarakat.