Bacaan Injil di kebaktian hari Minggu lalu (20/1) bercerita soal mujizat pertama yang dikerjakan Yesus, yaitu mengubah air menjadi anggur di kota Kana (Yohanes 2: 1-11). Di GKI Kebonjati, teks itu dipakai sebagai landasan untuk ibadah pengajaran terkait yang diyakini GKI tentang mujizat.

Pdt. Joas Adiprasetya (GKI Pondok Indah) menjadi pembicara dalam ibadah pengajaran tersebut. Menukil St. Agustinus, salah seorang Bapa Gereja di abad keempat, Pdt. Joas mengingatkan orang sering kali salah kaprah tentang mujizat.

Kita tidak pernah peduli pada air yang mengalir perlahan-lahan mengubah benih menjadi pohon dan menghasilkan buah anggur. Namun kita begitu terpesona saat Yesus mengubah air menjadi anggur. Padahal itu adalah hal yang sama, air mengalir kemudian berubah menjadi anggur. Itu pun dikerjakan oleh Pribadi yang sama,” kutip Pdt. Joas.

Lewat bacaan ini, dosen STFT Jakarta itu memberi lima poin kritisi terkait konsep “mujizat itu nyata” yang sering didengungkan orang Kristen.

Permasalahan pertama yang paling lazim saat orang mendefenisikannya sebagai sesuatu hal yang di luar hukum alam. Pandangan ini sering kali bergeser, sebab manusia dengan akal dan budinya akan selalu mencari penjelasan rasional. Banyak hal semisal peristiwa alam, penyakit atau hal lain yang dulu dianggap keajaiban, namun kini telah ditemukan penjelasan ilmiahnya. Tentu saja pendefenisian seperti ini rentan untuk terus berubah.

Hal kedua, seringkali mujizat menjadi disesuaikan dengan keuntungan kita, semisal kesembuhan dari penyakit atau beroleh berkat materi. Kalau tidak menguntungkan buat kita, kita tidak menganggapnya mujizat. “Alih-alih dengan iman kepada Allah kita mengukur situasi hidup kita, kita malah memakai situasi hidup kita untuk mengukur tindakan Allah,” kritik Pdt. Joas.

Permasalahan kedua itu pula yang membuat kita terjerumus pada persepsi ketiga, yang tidak empatik pada penderitaan orang lain. Seolah orang yang tidak mengalami keajaiban seperti yang kita alami tidak ditolong oleh Tuhan. Imbasnya menjadi kesalahan persepsi keempat, kita selalu menganggap bahwa jika kita percaya maka keajaiban pasti akan terjadi.

Pernyataan ‘when you believe miracle happens’ memang benar di satu sisi. Namun sering dibalik sehingga kita beranggapan jika mujizat tidak terjadi maka itu berarti orang kurang percaya,” lanjutnya.

Poin kelima yang dikritik Pdt. Joas adalah konsep “mujizat itu nyata” seringkali mengabaikan kejadian-kejadian yang dianggap biasa. Kebaikan-kebaikan keseharian yang kita anggap kecil. Padahal itu pun juga karya Allah. Kita manusia lah yang terlalu sering memilah-milah.

Bagi Allah tidak ada pembedaan mana mujizat mana bukan. Semuanya adalah ekspresi rasa cinta. Tindakan Ilahi yang penuh cinta kasih pada umat manusia,” ungkap Pdt. Joas sembari mengajak untuk mensyukuri banyak hal di dalam hidup yang semuanya adalah tindakan cinta kasih ilahi. **arms

Author

  • SELISIP berarti sisipan. Media ini meyakini kehadirannya mampu menyelisip di tengah derasnya arus informasi di masyarakat.