Harus diakui, munculnya gagasan kemerdekaan Indonesia diawali oleh inisiatif para mahasiswa yang kuliah di Belanda. Wawasan para mahasiswa itu tiba-tiba terbentang makin luas. Bagi mereka, tujuan perjuangan bukan demi kemerdekaan etnik atau sukunya; bukan pula demi kemerdekaan kelompok agama atau ideologi. Tujuan perjuangan adalah untuk kemerdekaan bangsa Indonesia. Para mahasiswa itu memperkaya strategi perjuangan. Bukan hanya menggunakan otot, tetapi juga otak; bukan saja dengan senjata, tetapi juga melalui negosiasi dan debat rasional. Mereka mengingatkan, membangun ‘otak’ itu penting, namun kecerdasan dan pengetahuan sangatlah dibutuhkan. Hanya itulah cara yang tepat untuk memajukan peradaban bangsa. Naaah…, gereja dapat berkontribusi besar di situ. Syaratnya? Gereja harus mulai membangun kultur belajar!
Dalam kaitan itu, saya menyambut berdirinya Soritua Nababan Institut (SNI) pada tanggal 24 Mei 2022, tepat di hari ulang tahun Pdt. Dr. SAE Nababan. Mengapa Nababan? Karena beliau adalah tokoh besar gereja. SAE Nababan pernah menjadi Sekum dan Ketum PGI; pernah pula menjadi Ephorus HKBP. Di level internasional, Nababan memegang peran penting di hampir semua organisasi gereja. Misalnya: di Dewan Gereja Asia, Lutheran World Federation, bahkan pernah menjabat sebagai Presiden Dewan Gereja Sedunia (WCC). Kiprah Nababan bukan saja di gereja. Beliau berkontribusi dalam kehidupan sosial masyarakat; Nababan menjalin relasi akrab dengan berbagai tokoh lintas agama. Beliau memberikan masukan bagi pemerintah, tetapi di saat tertentu, beliau tidak segan menkritisi, bahkan melakukan pembangkangan terhadap kebijakan pemerintah. Bila pemerintah terjebak ingin mendominasi dan mengintervensi gereja dan rakyatnya, Nababan pun ‘nekad’ menkritisinya. Peran besarnya itu bisa dilakukan karena beliau memiliki integritas, kapasitas kepemimpinan, keberanian, serta kapasitas ilmu. Memang, tanpa intelektualitas, kita semua bukan apa-apa; kita nothing!
Saya berharap SNI akan melakukan tiga hal. Pertama, menggali dan mengembangkan pemikiran dan gagasan teologis SAE Nababan; pemikiran dan gagasan teologis, terutama idenya tentang teologi keseimbangan yang menekankan pentingnya keadilan bagi sesama dan bumi ini. Kedua, membagi pengalaman kepemimpinan Nababan, baik positif maupun negatif, di level nasional maupun internasional. Hal ini perlu untuk dipelajari oleh siapa pun, mengingat gereja-gereja dan bangsa kita sedang mengalami krisis kepemimpinan. Terakhir, SNI mampu menjadi tempat penyemaian spiritual dan intelektual bagi kader-kader muda untuk kebaikan semua. Inilah ‘proyek’ kebangsaan dan kemanusiaan yang sangat diimpikan oleh Nababan.
Setitik Harapan
Bagi saya, SNI memunculkan setitik harapan. Keberadaan SNI bagai setitik air di padang gurun yang gersang. Dulu, gereja memiliki Akademi Leimena, lembaga kajian yang memproduksi ide dan pemikiran kritis. Kini, Akademi Leimena sudah lenyap. Gereja-gereja pernah merencanakan berdirinya Institut TB Simatupang dan Institut Eka Darmaputera, tetapi gagasan itu layu sebelum berkembang. Apa artinya? Artinya, gereja belum memiliki lembaga kajian, dan tidak pula memiliki lembaga penyemaian kader dan intelektual muda. Kultur belajar belum dibangun. Komunitas diskusi di dalam gereja hampir tidak ada. Kalau pun ada yang didiskusikan hanya seputar urusan gereja dan urusan keluarga. Ironisnya, tidak ada yang menyadarinya. Kultur belajar belum menjadi ‘habit’. Padahal, kapasitas intelektualitas sangat dibutuhkan di mana pun. Pengabaian kultur belajar membuat gereja mengalami stagnasi intelektual. Program gereja hanya ‘copy paste’ dari sebelumnya. Diskusi atau perdebatan pun lebih emosional ketimbang rasional. Ini penyebab gereja mudah pecah. Umat tidak siap dengan perbedaan pendapat. Yang berbeda dilabel ‘sesat’. Pengabaian gereja terhadap kultur belajar merupakan kenyataan yang sangat memprihatinkan dan bahkan memalukan.
Situasi yang sangat berbeda terjadi di komunitas Islam. Kaum muda dan intelektualitas Islam menikmati lingkungan di mana kultur belajar berkembang dengan baik. Lembaga kajian dan berbagai komunitas diskusi berkembang bagaikan cendawan di musim hujan. Muncul Wahid Institut, Maarif Institut, Nurcholis Madjid Society, Forum Diskusi Ciputat, dan masih banyak lagi. Forum diskusi mereka selalu penuh dengan anak muda. Di situ mereka berdebat dan mendiskusikan berbagai disiplin ilmu, baik agama maupun sekuler. Terasa kegairahan kaum muda Islam mengembangkan ilmunya. Mereka dimotivasi dan difasilitasi menulis di berbagai media massa, menulis beragam buku, melakukan penelitian dan kajian yang kritis dan tajam, serta berdiskusi secara rasional. Inilah kunci pengembangan kaum muda dan intelektual Islam. Fenomena ini memampukan mereka memberi kontribusi dalam segala aspek persoalan agama dan bangsa ini.
Kita berharap SNI akan tetap eksis dan bahkan berkembang dengan baik. Kita juga berharap agar munculnya SNI dapat menjadi ‘pelatuk’ bagi kemunculan lembaga kajian dan komunitas diskusi lain di berbagai gereja atau di institusi gerejawi lainnya. Di tengah persoalan yang multi kompleks, kita tahu bahwa spiritualitas yang dalam memang penting. Meski demikian, kita butuh peningkatan kapasitas intelektual umat, terutama kaum muda gereja. Hanya itu yang membuat gereja-gereja kita dapat memberi kontribusi nyata bagi terciptanya keadilan dan perdamaian bagi bangsa, bagi kemanusiaan serta bagi semesta. Bila persoalan ini masih diabaikan, maka gereja pun akan meneruskan impotensinya. Ga bergunalah!
Pecah Kopi
25 Mei 2022
FOLLOW KAMI