Kasus yayasan ACT yang diangkat majalah Tempo telah menjadi trending topik. Banyak orang heboh karena gaji para petinggi ACT sangat besar, nyaris setara dengan gaji CEO di berbagai perusahaan besar milik BUMN. Belum lagi fasilitas mewah yang dinikmati para petingginya. Sungguh ironis, dana sumbangan masyarakat untuk menolong kaum miskin dan yang terkena musibah, justru disalahgunakan untuk memperkaya para petinggi ACT. Padahal Yayasan ini cukup mendapatkan kepercayaan masyarakat karena kepiawaiannya dalam penggunaan bahasa agama demi untuk menarik dana. Hal yang menggembirakan dari kasus ACT ini adalah; kemungkinan masyarakat akan menuntut keterbukaan dan akuntabilitas keuangan yayasan atau institusi agama apa pun. Masyarakat pasti semakin tahu bahwa institusi agama pun berpotensi menyalah-gunakan dana.
Belum lama ini lembaga survei Gallup dari Amerika Serikat mengeluarkan temuan yang cukup memprihatinkan. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat pada gereja dan lembaga keagamaan hanya berkisar sekitar 36%; ini berarti tingkat kepercayaan yang sangat rendah. Lembaga yang paling dipercaya justru militer dan perusahaan-perusahaan berukuran kecil. Profesi yang paling dipercaya pun bukan Pendeta atau profesi keagamaan, tetapi perawat. 89% masyarakat Amerika Serikat menaruh kepercayaan mereka kepada para perawat karena kejujuran, profesionalitas dan moralitas mereka dalam melayani pasien. Tingginya tingkat kepercayaan pada lembaga militer dan pada profesi perawat menunjukkan tingginya level akuntabilitas yang dimiliki. Sebaliknya, rendahnya tingkat kepercayaan pada institusi gereja dan pada lembaga keagamaan menunjukkan betapa rendahnya penilaian masyarakat terhadap akuntabilitas lembaga agama. Ini adalah temuan yang memprihatinkan, sekaligus pekerjaan rumah yang harus kita selesaikan.
Kerja dan Kinerja
Akuntabilitas tidak secara langsung berhubungan dengan kerja. Akuntabilitas erat kaitannya dengan kinerja seseorang atau suatu lembaga. Kerja tanpa kinerja adalah aktifitas tanpa prestasi. Kerja tanpa kinerja adalah kesibukan tanpa arah dan tanpa tanggungjawab. Kinerja artinya bekerja dengan penuh komitmen, integritas, cinta dan tanggungjawab, demi kebaikan yang dilayani. Saat seorang ibu memberi makan anak-anaknya, dia tidak melakukan aktifitas pelayanannya itu asal-asalan; yang penting pada makan. Sebaliknya, sang ibu pasti akan memberikan pelayanan yang terbaik, pelayanan yang sepenuh hati dan penuh tanggungjawab. Pelayanan itu didasari oleh cinta yang kuat kepada anak-anaknya. Oleh karena itu, pelayanannya bukan ditujukan demi keuntungan diri pribadi; bukan juga demi kepuasan dirinya; sama sekali tidak. Pelayanannya itu dilakukan demi kebahagiaan anak-anaknya. Kepuasan dan kebahagiaan anak-anaknya adalah ukuran keberhasilan pelayanannya. Jadi, bukan sekedar kerja, asal sibuk tak ada ‘juntrungan.’ Ini adalah kinerja!; kerja berprestasi. Nah, seorang yang hatinya diliputi kasih Tuhan tidak akan bekerja asal-asalan, tidak juga melayani demi kepentingan dirinya. Sebaliknya, dia akan bekerja dengan serius, dengan segenap hati, dengan penuh komitmen dan tanggungjawab demi cintanya kepada Tuhan.
Tantangan Masa Kini
Tantangan bagi gereja dan lembaga keagamaan pada masa kini adalah merebut kembali kepercayaan umat dan masyarakat. Caranya? Meningkatkan akuntabilitas moral yang sangat tinggi. Akuntabilitas ini ditunjukkan dengan mendorong para pelayan gereja dan lembaga keagamaan menunjukkan kinerja yang semakin baik yang dirasakan umat dan masyarakat. Kinerja yang baik berarti bekerja dengan giat, penuh komitmen, kejujuran, dan penuh tanggungjawab demi kebaikan dirinya, kebaikan institusi keagamaan yang dilayaninya dan demi kebaikan umat dan masyarakat yang dilayaninya. Kinerja yang baik bukan dicapai dengan sekedar meningkatkan kompetensi para pelayan. Kompetensi tanpa moralitas yang kuat, tidak berguna apa pun. Kinerja yang baik adalah gabungan dari peningkatan kompetensi dan perbaikan kualitas moral dan etik dalam pelayanan.
Antropologi Kristen menyatakan bahwa manusia itu bersifat ambigu. Pada satu sisi, manusia itu the image of God yang memiliki kapasitas melakukan kebaikan. Pada sisi lain, manusia adalah juga human sin, manusia berdosa yang dalam kerapuhan moralnya memiliki potensi menyeleweng. Nah, gambaran yang realistis terhadap manusia ini menunjukkan bahwa peningkatan kualitas moral dan etik para pelayan tidak cukup disandarkan pada kesadaran pelayannya yang memang rapuh. Kualitas moral dan etik seseorang hanya bisa terwujud bila diciptakan sistem yang transparan dan akuntabel. Ada tuntunan, tetapi sekaligus ada juga pengawasan pada tindakan, pada berbagai kebijakan dan keputusan internal dan eksternal, dan terutama pada penggunaan keuangan gereja dan lembaga keagamaan. Berdasarkan antropologi Kristen di atas, kita diingatkan bahwa manusia yang baik akan menjadi rusak dalam sistem yang buruk. Sebaliknya, manusia yang jahat ‘dipaksa’ menjadi lebih baik dan lebih jujur dalam sistem yang baik, yang transparan dan akuntabel.
Anugerah Memberi
Sering institusi agama, termasuk gereja, mengingatkan umat untuk mampu memberi dan menjadi berkat bagi siapa pun. Memberi adalah anugerah terbesar yang dimiliki oleh mereka yang ‘kaya’ hatinya. Mereka dipenuhi ucapan syukur karena merasakan kelimpahan di tengah situasi apa pun. Sebaliknya, ada yang kaya harta tetapi miskin hati. Mereka ini penuh dengan keluhan dan jeritan, karena selalu merasakan kekurangan. Sesungguhnya mereka miskin, karena itu tidak mampu memberi apa pun. Tentu saja yang ideal adalah kaya hati sekaligus kaya harta. Mereka akan menjadi filantropis sejati. Bagi mereka, kekayaan itu adalah titipan Tuhan bagi yang membutuhkan.
Kasus ACT mengingatkan kita bahwa yang terpenting bukan saja mendorong orang untuk memberi. Ada aspek lain yang sama pentingnya, yaitu pengelolaan dan penyaluran dana pemberian itu secara transparan dan akuntabel. Memang, yang Tuhan berikan bukan saja anugerah memberi, tetapi juga anugerah mengelola. Keduanya sama pentingnya. Komitmen, kesetiaan, dan cinta kita kepada Tuhan, serta pertimbangan moral-etis dan kemanusiaan harus dimiliki dalam pengelolaan dana umat. Gereja dan lembaga keagamaan yang dikelola tanpa menjalankan prinsip moral-etis adalah perampok berjubah rohaniawan. Mereka adalah drakula penghisap darah umat dan masyarakat. Gereja dan lembaga yang akuntabel memandang pemberian umat sebagai titipan Tuhan yang ditujukan untuk menjadi berkat bagi sesama, terutama bagi mereka yang sangat membutuhkan. Melihat hasil penelitian Gallup di atas, rasanya sudah saatnya kita mencari pelayan yang melayani dalam cinta, komitmen serta tanggungjawab bagi sesama dan bagi kemuliaan Tuhan.
Bandung
12 Juli 2022
FOLLOW KAMI