Beberapa hari lalu saya diundang menghadiri perayaan Naw Rus, umat agama Bahai. Perayaan ini diperingati setiap tanggal 21 Maret. Agama Bahai lahir di Persia dan didirikan oleh Mirza Husein Ali Muhammad. Pengikutnya berjumlah 6 juta orang yang tersebar di 200 negara di dunia. Misinya menarik:  persatuan umat manusia di dunia. Itulah sebabnya umat Bahai selalu berbicara tentang cinta yang mempersatukan.

Yang menarik adalah selain ada perbedaan, ada juga beberapa kemiripan agama Bahai dengan kekristenan. Yang membedakan adalah Bahai itu agama yang berdiri sendiri. Bahai bukan sekte dari agama mana pun. Sedangkan Kristen itu sekte atau gerakan heretic dari keyahudian.

Apa yang menyamakan Bahai dan Kekristenan?  Paling sedikit ada tiga. Pertama,  nilai spiritualitasnya yaitu semangat persatuan dan cinta kasih yang merangkul umat manusia. Kedua, sama seperti umat Bahai yang tidak bergantung pada tokoh agama atau rohaniawan, umat Kristen pun, pada awalnya, adalah gerakan kaum awam yang tidak bergantung pada tokoh agama atau rohaniawan. Ketiga, sama seperti agama Bahai yang memiliki wawasan universal, umat Kristen pun berwawasan universal. Kekristenan menggeser  wawasannya: dari warisan keyahudian yang bersifat agama suku Yahudi menjadi agama universal yang menjangkau seluruh umat manusia dan bumi.

 

Degradasi Spiritual!

Godaan sekaligus kesempatan yang mengubah total wajah kekristenan muncul ketika raja Constantin ‘bertobat.’ Saat itu, Kekristenan ditahbiskan menjadi agama negara. Kekristenan pun punya “power” karena bercumbu dengan politik kekuasaan. Munculah ambiguitas. Secara politik, kekristenan semakin kuat. Ironisnya, secara spiritual mengalami degradasi.

Kekristenan berubah dari gerakan kaum awam menjadi kekuatan elitis. Dari agama yang sering ditindas menjadi agama yang menindas. Politik juga mengubah wajah kekristenan saat itu dari ‘gerakan’ akar rumput menjadi agama negara yang statis, dari gerakan di tengah masyarakat menjadi agama ritualistik dan sangat menekankan kesatuan dogma. Situasi ini memberi peran bagi dominasi rohaniawan. Pengalaman berkuasa secara politik ini tidak pernah dialami oleh jemaat Bahai sehingga Bahai tetap menjadi gerakan kaum awam.

 

Persoalan Masa Kini?

Saat ini, wawasan kekristenan yang universal dengan kasih sebagai nilai utamanya mengalami godaan berat. Ini terjadi karena kekristenan tidak tinggal in vacuum. Kekristenan tidak imun oleh berbagai geliat dan perubahan di masyarakat dan negara.  Adanya politik uang, politik kekuasaan, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, partikularisme etnik, ethnosentrisme Barat dan kapitalisme global memberi efek besar pada wajah kekristenan.

Ada relasi timbal balik antara kekristenan dan berbagai perubahan yang berlangsung di dunia ini. Relasi ini bersifat ambigu karena memberi dua efek yang saling bertentangan dan bertolakbelakang, yaitu efek positif dan efek negatif

 

Ada saat kekristenan memberi efek positif. Nilai cinta dan solidaritas kemanusiaannya menggarami derap kehidupan manusia dan menerangi berbagai kebijakan sosial-politik, ekonomi, dan budaya.

Di sisi lain, kekristenan juga memberi efek negatif. Momen itu terjadi saat kekristenan dijadikan instrumen untuk menjustifikasi berbagai nafsu dan kepentingan politik, kapitalisme, etnosentrisme, diskriminasi gender, dan sebagainya.

Situasi ambigu yang dihadapi oleh kekristenan mungkin juga dialami oleh semua agama. Ambiguitas ini mengharuskan umat semakin kritis terhadap berbagai interpretasi agama dan bahkan kritis terhadap penyalahgunaan agama oleh sebagian rohaniawannya sendiri.

Sikap kritis terhadap interpretasi elitis serta penyalahgunaan agama oleh kaum rohaniawan  pernah diangkat oleh Martin Luther dengan mottonya: Sola Fide. Luther mengembalikan agama pada relasi setiap individu dengan Tuhannya. Gerakan Reformasi Luther berhasil membebaskan bangsa-bangsa di Eropa baik secara personal maupun secara kolektif dari dominasi politik dan spiritual Vatikan.

 

Butuh Reformasi Lagi!

Meski kecil, reformasi Luther dan Calvin cukup berdampak  bagi kekristenan di negara-negara non Eropa seperti di Asia dan Afrika. Penghayatan agama menjadi lebih personal. Reformasi Luther juga cukup berhasil mencegah kekristenan bercumbu erat dengan politik kekuasaan.

Persoalannya, situasi masa kini bukan hanya politik. Ada persoalan lain yang menggila yaitu ketamakan ekonomi yang mengeksploitasi sesama dan alam raya ini. Kekristenan masih gagap dan membisu terhadap eksploitasi ekonomi ini. Celakanya, sebagian rohaniawan, kebanyakan masih pengusaha, memanfaatkannya untuk meraup keuntungan dari ‘jualan’ agama. Realitas ketamakan ekonomi yang mengerikan ini menunjukkan bahwa nampaknya gereja-gereja membutuhkan gerakan reformasi baru yang memihak masyarakat yang tertindas. Siapa yang mau mulai?

 

Jakarta
23 Maret 2023

Author