Belum lama ini Menkopolhukam, Prof Mahfud MD menyebutkan adanya dana berjumlah 349 trilyun yang terindikasi korupsi. Masyarakat pun geger. Maklum, jumlah dana itu sangat besar. Meskipun pemerintah sudah melakukan perbaikan sistem keuangan, para koruptor masih bisa menjebolnya. Betapa parahnya korupsi di Indonesia sampai Mahfud ngomong: “Menoleh ke mana pun selalu ada korupsi.” Parah! Para koruptor beraksi di mana-mana. Di instansi sekuler muncul kasus di Jiwasraya, Bank Century, dan sebagainya. Di institusi agama muncul kasus ICT, termasuk penggelapan dana gereja. Para koruptor adalah benalu bangsa. Mereka musuh rakyat yang rajin memamerkan hasil korupsinya. Mereka perusak peradaban. Drakula penghisap kekayaan negara.

 

Efek Korupsi Bagi Bangsa

Menurut Transparansi International negara-negara yang tingkat korupsinya tinggi cenderung menjadi negara miskin. Kesenjangan antara masyarakat kaya dan miskin makin melebar. Masyarakat seperti ini selalu konflik dan tidak stabil. Semua orang merasa terancam. Tingkat kriminalitas meninggi. Orang nekad membunuh sesamanya demi mempertahankan hidupnya. Somalia, Suriah, Sudan Selatan, Libya, Venezuela, Korea Utara adalah contohnya. Korupsi telah mengubah negara menjadi neraka.

 

Sebaliknya, negara-negara yang bersih dari korupsi adalah negara kaya. Negara menjadi sorga. Semuanya transparan dan akuntabel, pertumbuhan ekonomi meninggi. Rakyat tenteram dan bahagia. Menurut Transparansi International negara-negara yang bersih dari korupsi adalah Denmark, Finlandia, Selandia Baru, Norwegia, Singapore, Swedia, Swiss, Belanda, Luxemburgh dan Jerman. Menariknya 9 dari 10 negara terbersih dari korupsi adalah negara-negara yang penduduknya berlatar belakang Kristen Protestan. Artinya, di negara-negara ini agama tidak sekedar soal ritual atau dogma dan simbol-simbol. Sebaliknya, negara-negara ini berhasil mengimplementasikan nilai-nilai kristiani dalam sistem politik dan ekonomi pemerintahan dan dalam budaya kehidupan dan perilaku masyarakat di sana. Realitas ini menjadi tantangan bagi gereja di Indonesia.

 

Jelaslah, selama praktek bernegara dan berbisnis masih korup suatu bangsa tidak akan pernah maju. Sebaliknya, praktek dan sistem bernegara dan berbisnis yang jujur dan akuntabel akan mengubah negara menjadi lebih baik. Inilah pesan Fred Catherwood dalam bukunya Light, Salt and The World of Business: Good Practice Can Change Nations. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Terang, Garam dan Dunia Bisnis: Praktek yang Baik Dapat Merubah Negara.

 

Korupsi itu Perbuatan Terkutuk

Catherwood menjabarkan bahwa praktik korupsi, suap, manipulasi, dan sebagainya adalah perbuatan yang dikutuk oleh Alkitab. Korupsi dan suap tidak sesuai dengan prinsip kristiani. Korupsi  menunjukkan ketidakjujuran dan rusaknya moralitas. Dia memberi contoh nyata dalam kasus korupsi terheboh yang diceritakan Alkitab. Kasus itu adalah penyuapan 30 keping perak terhadap Yudas untuk informasi di mana Yesus berada. Konon, bila dikonversi ke masa sekarang dana yang diterima Yudas sekitar 45 juta rupiah. Jumlahnya tak terlalu besar dibanding 50 milyar harta Rafael Alun, pegawai pajak itu. Tetapi jelaslah bahwa siapa pun bisa mata gelap oleh uang, seberapa pun besarnya. Yesus, guru dan orang terdekatnya dikorbankan. Itu demi uang. Uang menumpulkan nurani, membusukkan rasa kemanusiaan, menihilkan cinta. Para koruptor tidak peduli pada efek negatif perbuatan mereka. Mereka masa bodo bangsa dan negaranya akan bangkrut. Mereka apatis orang akan menderita atau konflik sosial-politik akan meninggi. Bagi mereka yang penting memuaskan nafsunya sendiri.

Para koruptor itu tidak takut pada hukum, bahkan tidak takut Tuhan. Kita semua tahu bahwa banyak kasus di mana dana institusi agama seperti gereja pun menjadi sasaran korupsi. Kenyataan ini membuat lembaga gereja dan para pendeta di Amerika Serikat kurang dipercaya. Penelitian yang dilakukan oleh The Pews menyebutkan bahwa institusi yang paling dipercaya oleh penduduk Amerika Serikat adalah Militer, bukan gereja. Profesi paling dipercaya adalah nurse atau suster, bukan pendeta. Memang, koruptor bergerak di mana pun. Kadang mereka gunakan jubah rohaniawan untuk merampok dana umat. Korupsi memang menghancurkan apa pun. Pantaslah disebut extra ordinary crime, kejahatan luar biasa. Pelakunya harus dihukum mati. Tetapi haruskah?

 

Bagaimana Mencegah Korupsi

Catherwood masih optimis korupsi bisa dicegah atau paling tidak dikurangi. Setiap orang harus berjuang untuk memiliki sikap jujur, terutama memiliki kejujuran publik. Sebagai contoh orang harus jujur dalam membayar pajak, jujur dalam upayanya memperoleh gelar kesarjanaan dan jujur dalam berbisnis. Sebaliknya, semua institusi, termasuk gereja dan pemerintah, harus jujur dalam pengelolaan keuangan. Hukum harus ditegakkan. Undang-undang Perampasan Aset Korupsi harus segera dibuat dan diimplementasikan. Tantangan terbesar adalah mengimplementasikan nilai-nilai agama seperti kejujuran dan integritas dalam sistem pemerintahan dan dalam budaya masyarakat.

 

Khusus untuk orang Kristen, Catherwood sampaikan tafsiran menarik tentang garam dan terang dunia. Sebagai garam kita harus mencegah korupsi. Sebagai terang kita harus memberi teladan bertindak dengan jujur dan penuh integritas. Akhirnya, Catherwood akui bahwa korupsi itu seperti pandemi. Ia tidak bisa ditangani sendirian. Butuh dukungan dan jejaring moral dan spiritual dari para professional, bisnisman, aparat hukum, politisi serta masyarakat seluruh dunia. Hanya melalui komitmen bersama korupsi bisa dikurangi. Bila kita gagal memeranginya, hancurlah kita!

 

Bandung
13 April 2023

Author